“Cahaya
itu selalu baik,” (Hal. 73)


Editor: Mahir Pradana
Proofreader: Dewi Fita
Desain sampul: Dwi
Anissa Anindhika
Tata letak: Erina
Puspitasari
Penerbit: Rak Buku
Cetakan: Pertama, 2015
Jumlah hal.: ii + 236
halaman
ISBN: 978-602-732-301-8
“Pernahkah
pelangi menangis karena hujan dan langit tak mau mewarnainya? Jika sempat,
tolong katakan pada hujan untuk menitik satu kali pada tiga puluh tahun
kesunyian di ujung pelangi yang tak berbatas. Mungkin saja asa yang tersesat
menemukan jalan pulang dan darah tak harus tercurah pada telapak tangan yang
beku.”
Sebuah
liontin menonton Jeruk pada sebuah nama, Rinai. Sebuah nama yang digunakannya
untuk memulai kiprahnya sebagai penulis misteri. Namun, misteri ternyata tidak
hanya terjadi di novel fiksi buatan Rinai. Satu per satu korban mulai
berjatuhan sesuai dengan kisah di dalamnya. Kini, Jeruk harus berpacu dengan
waktu, sebelum lebih banyak lagi korban berjatuhan. Ataukah kali ini, Jeruk
sendiri korbannya?
***

“Sobatku
yang tak lagi setia. Dengan menyesal aku mengumpulkan semua dendam di dalam
darahku. Warnanya lebih merah dari darah. Keras melebihi karang. Pada
penghujung ajalku, aku melihat dendam lebih indah dari penantian yang sia-sia.
Aku ingin kamu melihatnya bersamaku.” (Hal. 3)

Kalimat di atas adalah
kelanjutan dari kalimat yang dicantumkan dalam blurb novel ini. Satu pargaraf
yang juga bisa punya arti bagi keseluruhan cerita.
Novel
Alias ini bercerita tentang Jeruk Marsala, seorang penulis novel romance yang menulis genre misteri
dengan nama lain. Tidak asing dengan plot ini? Ya, bukankah J.K  Rowling yang fenomenal berkat serial Harry Potter
melakukan hal yang sama? Apa yang membuat novel ini berbeda?
Sebab
bukan itu inti utama novel ini. Masalah muncul akibat novel-novel yang ditulis
Jeruk memakai nama Rinai mulai menjadi kenyataan. Satu persatu pembunuhan yang
terjadi di novel Misteri Mayat yang
Berdetak
dan Pisau Air Mata menjadi
kenyataan. Ini membuat sosok Rinai semakin memantik rasa penasaran. Terlebih
sejak awal, Jeruk menyembunyikan identitas Rinai. Selama ini urusan terkait
penerbitan buku-buku Rinai ditangani oleh Darla. Kini populartitas Rinai mulai
menyaingi popularitas Jeruk yang telah menulis banyak buku dan novelnya telah
difilmkan.
Yang
terburuk bukanlah hal itu. Melainkan pembunuhan yang terus terjadi tanpa bisa
ditemukan pelakunya. Pembunuhan ini pun kemudian mulai mengancam keselamatan
orang-orang yang Jeruk kenal. Siapa sebenarnya pelaku pembunuhan ini? Bagaimana
mungkin bisa semua hal yang terasa mustahil terjadi bisa benar-benar menyata di
hadapan Jeruk?
Apa
yang hanya imajinasi dan mimpi kini benar-benar memburu Jeruk di alam nyata. Apa
yang salah? Apa yang sedang terjadi?

“Kamu
ini seperti tuan putri yang memakai baju ksatria. Kadang bisa bersikap manis
tapi anehnya selalu memancing keonaran.” (Hal. 13)

***

“Banyak
kemungkinan yang terjadi di dunia penulisan dan film. Nggak bisa diprediksi
secara pasti. Ada buku yang biasa saja, tapi bisa menembus ranah film. Ada buku
yang luar biasa, tapi nggak bisa diangkat ke layar lebar. Apa sebabnya? Banyak.
Ya, keberuntungan, faktor perjuangan si penulis, kebetulan si penulis punya
link ke produser, atau materi cerita yang sesuai pasar.” (Hal. 16)

Menyelesaikan
novel ini membutuhkan waktu 3 hari. Kenapa? Bukan karena ceritanya yang tidak
menarik melainkan saya yang menolak membaca buku ini jika matahari sudah
terbenam. Jika pembaca mengharapkan novel yang sejenis dengan Misteri Patung
Garam, maka simpan kembali harapan itu. Dan untuk pembaca yang senang dengan
novel horor yang menghadirkan hantu-hantu dengan wujud yang menyeramkan, maka
singkirkan harapan itu. Ceritanya benar-benar berbeda. Ini bukan lagi tentang
petualangan seorang detektif, melainkan tentang misteri dan dendam.
Premis
novel ini benar-benar menarik. Membayangkan bahwa apa yang dibaca di novel
misteri benar-benar menjadi kenyataan pastilah memunculkan kengerian tersendiri
namun juga memancing rasa penasaran. Kita pasti akan berpikir “bagaimana
akhirnya? Samakah dengan akhir cerita di novelnya?” Itu sebabnya saya cukup
kesal karena ending dari novel pertama dan kedua Rinai tidak dicuplik. Hanya
ending novel ketiga yang dibuat terhubung dengan ending kisah hidup Jeruk
sendiri.
Ada
sejumlah adegan di dalam novel ini yang membuat saya ikut tegang. Ini karena
kelihaian penulis mendeskripsikan suasana. Dan sejujurnya ada satu adegan yang
melibatkan cermin yang membuat saya ngeri sendiri. Apalagi di kamar mandi saya
ada cermin. Jadi kepikiran buat ke kamar mandi di malam hari. Bagaimana jika
pengalaman Jeruk juga menjadi kenyataan di kehidupan saya?
Harus
saya akui, novel ini mampu membangkitkan rasa takut sekaligus rasa penasaran
saya. Jadi wajar jika diending cerita saya dibuat gemas sendiri. “Endingnya
gini aja nih? Serius? Eh tapi itu yang paragraf terakhir artinya apa? Kok
kesannya Jeruk ….” (Sengaja tidak dilanjutkan agar tidak spoiler dan malah
bikin penasaran)
Selain
itu, tokoh Eru yang sejak awal ditampilkan sebagai sosok yang menyebalkan
ternyata perlahan mampu menarik simpati. Ia punya alasan untuk sikapnya pada
Rinai. Tokoh ini juga sangat mudah untuk dicurigai 😀
Oiya
mau protes dikit boleh ya, mbak? Di halaman 28 tentang kontrak film yang
dibatalkan oleh pihak Produsernya itu kok terasa tidak beretika ya? Kalaupun
dibatalkan, seharusnya pihak produser tidak perlu mengatakan bahwa itu karena
ia lebih tertarik memfilmkan novel Rinai. Selain itu di halaman 49 membicarakan
mimpi dan penderita miopia, itu benar ada hubungannya? Soalnya saya tidak punya
pengalaman yang sama. Sebelum dan setelah memakai kacamata mimpi saya tetap
kabur, mbak. *kemudian ditoyor Mbak Ruwi* 😀
Secara
keseluruhan, novel ini adalah salah satu novel yang membuat saya tidak
keberatan mencicipi genre misteri, genre yang sangat saya hindari!

“Kadang
kala kita harus selalu waspada dan untuk itu kita membutuhkan prasangka dan
dugaan. Jangan abaikan prasangka buruk sebab dunia ini jahat, Honey!”
(Hal. 35)

***

“Kebaikan
selalu melawan kejahatan, bahkan di dalam diri manusia, dua hal itu bergumul
tiap hari.” (Hal. 57)
Hai..hai..
Sudah membaca review lain yang ada dalam rangkaian postingan “Blogger Membaca
Alias”? Yang mana yang reviewnya paling menggugahmu, Readers?
Nah,
kali ini saya diberi berkesempatan oleh Mbak Ruwi Meita untuk mengadakan Giveaway
berhadiah novel Alias bagi satu orang yang beruntung. Caranya mudah:
1.
Jawab pertanyaan ini di kolom komentar
“Jika menjadi
penulis, kamu akan memakai nama apa sebagai nama penamu? Nama asli kah?”
Jangan
lupa sertakan data diri berupa nama, akun twitter atau akun instagram, dan email
kamu.
2.
Share giveaway ini dengan ketentuan berikut:
Via Twitter:
follow akun twitter @ruwimeita25, @penerbitrakbuku dan @atriasartika. Kemudian
share link Giveway ini dengan hashtag #ALIAS dan mention ketiga akun tadi.
Via Instagram:
follow akun instgram @ruwimeita, @penerbitrakbuku, dan @atriasartika. Repost
banner atau e-poster Giveaway #ALIAS yang ada di akun @atriasartika. Sertakan
link blogpost ini dalam caption. Tag ketiga akun tadi ya 🙂
 

Gambar yang ada di instagram

3.
Giveaway ini hanya berlangsung dari tanggal 30 Januari – 5 Februari 2016
4.
Giveaway ini hanya untuk yang berdomisili di Indonesia
5.
Pengumuman pemenang akan saya posting di twitter dan akan saya update di
postingan ini paling lambat 1 minggu setelah giveaway ditutup.

“Menulis
horor itu artinya menantang rasa takut. Aku harus memahami ketakutan itu
sendiri.” (Hal. 66)

***
“Aku
tidak suka dengan kebetulan karena aku nggak memercayainya begitu saja.” (Hal.
89)
“Seberapa
besar kamu mengembalikannya ada ingatan yang tidak bisa kembali. Lepaskan saja,
dan jadilah orang asing yang menyenangkan!” (Hal. 96)