“Kamu tahu cara terbaik menjalani hidup, By? Enjoy your life wheter it’s up or down. Life
is always like a rollercoaster. You have the right to be afraid, but try to climb into the front seat, throw your arms in the air, and enjoy the ride. Find the joy in all choices you make. Remember, in the end good girls always win.” (Hal. 244)

 

Penulis: Dy Lunaly
Penyunting: Starin Sani
Perancang sampul: Titin Apri Liastuti
Ilustrari isi: Dy Lunaly
Pemeriksa aksara: Fitriana STP & Septi WS
Penata aksara: refresh.atelier
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: Pertama, Oktober 2015
Jumlah hal.: vi + 270 halaman
ISBN: 978-602-291-106-7
Apa yang lebih mengerikan selain ditinggalkan calon suamimu tepat ketika sudah akan
naik altar? Abby pernah merasakannya. Dia paham betul sakitnya.
Abby memutuskan untuk berputar haluan hidup setelah itu. Berhenti bekerja, menutup
diri, mengabaikan dunia yang seolah menertawakannya. Ia berusaha  menyembuhkan luka. Namun, setahun yang terasa berabad – abad ternyata belum cukup untuk mengobatinya. Sakit itu masih ada, bahkan menguat lebih memilukan.
Lalu, Abby sampai pada keputusan gila. Travelling mengenakan gaun pengantin! Meski tanpa mempelai pria, ia berusaha menikmati tiap detik perjalanannya. Berharap gaun putih itu bisa menyerap semua kesedihannya yang belum tuntas. Mengembalikan hatinya, agar siap untuk menerima cinta yang baru.
***
“Kenapa aku semasokhis ini, sih? Kenapa aku masih sering bermain dalam kenangan yang seharusnya kulupakan? Tapi, kalau mau jujur, bukankah sebenarnya kita semua merupakan kumpulan masokhis, disadari ataupun tidak? Terlalu sering kita sengaja membuka kenangan menyakitkan atau menyedihkan dan menyesapnya kembali. Membuka luka yang belum benar – benar mengering. Luka yang tidak akan pernah kita biarkan mengering karen akita mencandu rasa sakit itu.” (Hal. 17)

 

Bagaimana jika saat mengenakan gaun pengantin dan tengah menunggu calon suamimu datang
kamu mendapati bahwa harapan itu terhempas begitu saja tepat saat kamu akan meraihnya? Sakit? Sudah pasti. Patah hati? Apalagi. Marah? Malu?
Itulah yang dialami Abby. Hari pernikahannya menjadi mimpi buruknya. Merenggut kepercayaannya akan cinta. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi. Ia tidak berhenti menanyakan pada dirinya apa yang salah? Kenapa Andre tidak datang?
Setahun berlalu. Ia masih tetap jalan di tempat. Membiarkan dirinya menapak di masa
lalu. Hidupnya berubah dan tidak jadi lebih baik.
Mendadak sebuah keyakinan mendatanginya. Ia mendadak menyadari bahwa ia harus melangkah maju. Maka ia pun memutuskan menyingkirkan semua kenangan tentang Andre. Namun saat melihat baju pengantin yang membuatnya jatuh cinta, Abby tahu ini belum selesai. Ia harus melakukan sesuatu untuk mengakhirinya.
Keputusan untuk melakukan solo traveling tanpa perencanaan yang matang terjadi. Fokusnya saat itu adalah mencoba hal baru agar ia bisa melupakan masa lalu. Dan ia memutuskan satu kegilaan. Yaitu melakukan
taveling dengan baju pengantinnya. Yup, baju pengantin.

Saat travelling ke Penang, Abby tanpa sengaja berkenalan dengan Wira. Seorang yang sudah bertahun – tahun hidup sebagai traveler. Dan mendadak dunia Abby berubah. Wira datang membawa banyak hal baru yang membuat Abby mulai tidak mengenali dirinya. Abby terus bertanya- tanya. Benarkah keputusannya ini?
Dan di saat yang sama ia masih belum mampu melepaskan diri dari pertanyaan, “Kenapa Andre meninggalkanku? Apa yang kurang? Apa kesalahan yang kulakukan?”
Apakah perjalanan ini akan menjawab hal itu? Apakah perjalanan ini akan mampu membuat
Abby melepaskan masa lalu? Bagaimana nasib gaun pengantin Abby?
“Buatku pasangan itu bukan sekadar tempat untuk pulang, tapi teman perjalanan. Seseorang yang nemenin aku ngalamin semua hal, susah atau senang, bahagia atau sedih, apa pun itu. Seseorang yang ketawa bareng aku tiap ingat kebersamaan kami. Makanya aku nggak perlu rumah dalam bentuk bangunan, By. Cukup seseorang yang aku cintai. Seseorang yang nggak peduli aku ada di mana dan apa yang aku alami. Asal bareng dia, aku tetap merasa senyaman di rumah.” (Hal. 174)
***
Untuk yang mengenalku dengan baik, kalian pasti tahu bahwa bagiku Dy Lunaly bukan
sekadar penulis yang aku baca karyanya. She’s my best friend. Dan apapun yang aku tulis dalam review ini adalah sesuatu yang aku harap akan membawa kebaikan baginya. Bagi karya – karyanya yang akan selalu aku tunggu. Dan aku akan jadi orang pertama yang akan emosi jiwa tiap kali mendengar Mbak Dy bilang dia mau berhenti nulis saja yang kadang hanya sekedar candaan baginya.
Bagi mereka yang membaca novel – novel Dy sebelumnya, aku cuma mau bilang, “Selamat bernostalgila. Kamu akan menemukan sejumlah tokoh ciptaan Dy Lunaly dari karya – karya  dia sebelumnya. Terutama tokoh – tokoh di novel “Pssst!”. All of them.

Tadinya mau ngecek novel “Pssst!” karena di halaman 95 novel ini aku menemukan paragraf yang familiar yang entah aku baca di mana. Itu ada di buku “Pssst!”nggak sih? Penjawab pertama yang bisa jawab pertanyaan ini via twitter dan mention aku bakalan aku kasih satu novel kolpri-ku. Serius! Aku nggak bisa
ngecek sendiri karena bukuku sudah dikirim ke Mamuju, sedang saat ini aku lagi di Bandung.
Ok, lanjut. Novel My Wedding Dress adalah novel dewasa pertama Dy Lunaly. Sebelumnya ia lebih dikenal sebagai penulis novel remaja. Ini yang bikin gaya bercerita novel ini tetap ceria.
Sejak dulu kelebihan Dy Lunaly yang paling menonjol adalah cara dia menggambarkan setting. Deskripsinya hidup, berwarna dan terkesan ceria. Yang saat membaca novelnya bikin kita pengin tahu apa semenyenangkan itu?
Dan kali ini yang menarik adalah Dy Lunaly menampilkan cerita tentang tokoh utama, Abigail atau akrab disapa Abby, yang mencoba move-on dengan melakukan traveling menggunakan pakaian pengantinnya. Hm.. jangan membayangkan pakaian pengantin yang ekornya mencapai 1 meter. Bukan. Pakaian pengantin Abby adalah baju pengantin yang simple tapi manis. Ini pun sesuai dengan gambaran sosok Abby sendiri. Perempuan yang menikmati rumah. Bukan! Abby mencintai rumah. Dan Abby adalah sosok yang terkesan
sebagai perempuan yang manis dan mudah dicintai. Simple. Sederahana. 
Penggambaran tentang gaun pengantin ini membuat cerita tetap logis. Itu kenapa Abby tetap memungkinkan untuk memakai baju pengantin ini saat travelling. Meski pun aku yakin banyak pembaca akan bertanya – tanya, “Sesering apa Abby harus me-laundy baju pengantinnya?” 😀
Karakter – karakter yang ada di My Wedding Dress memiliki kesan masing – masing. Abby berhasil tergambarkan melalui showing yang baik. Interaksi antara Abby dan Wira pun tidak monoton. Sayangnya beberapa adegan terkesan terlalu manis. Tapi ini juga perkara selera sih. Aku orang yang tidak begitu suka tokoh cowok yang terlalu manis karena sisi realistisku selalu berpikir bahwa, “Cowok yang perlakuannya sangat manis dan perhatian ke cewek itu cari di dunia fiksi aja. Di dunia nyata mereka gak eksis!” Ha..Ha.. Tapi aku yakin saat baca Wira banyak pembaca cewek yang akan iri dan berharap jadi Abby atau berdoa semoga cowok seperti Wira akan muncul di hidup mereka. Hanya saja kesan bahwa Wira ini too good to be
true
dan perfect masih cukup terasa. Meskipun penulis sudah menambahkan beberapa konflik dan penggambaran yang bikin sosok Wira tetap manusiawi. Oiya sedikit protes untuk Mbak Dy, kadang aku ngerasa diksi kalimat langsung Wira masih kurang maskulin. Tapi ini hanya terjadi di beberapa percakapan sih.
Sedangkan untuk tokoh Abby sendiri? Aku suka karena tokoh ini berkembang. Abby yang aku baca di awal novel tidak lagi sama dengan Abby yang aku baca di akhir novel. Bukankah cerita yang baik memang harus seperti itu? Tokohnya berkembang bersama ceritanya.
Untuk alur, aku akan bilang, “sudah pas”. Alur campuran yang dipilih Dy Lunaly bikin cerita ini jadi menarik dan nggak bikin bosan. Meskipun adegan tentang gaun pengantin Abby di halaman 80 kurang sesuai dengan opening cerita tentang pendapat Andre soal gaun pengantin Abby.
Pilihan POV 1 untuk novel ini sudah cocok. Ini membuat deskripsi yang dipakai saat menggambarkan tempat dan suasana jadi terasa personal. Seperti mendengar teman bercerita penuh semangat tentang pengalaman travelling-nya. Sayangnya kisah patah hati Abby belum berhasil membuat aku sedih. Mungkin karena terlau sering disuguhi adegan yang bikin senyum dan perlakuan manis Wira ke Abby.
Terakhir, aku mau protes ke Mbak Dy. Itu buku karena terlalu quote-able aku harus simpan di mana semua kutipan menarik itu? Ya, banyak filosofi menarik yang ditebarkan oleh penulis di dalam novel ini. Dan satu yang sebenarnya ingin aku bahas panjang lebar. Yaitu tentang filosofi menarik terkait traveling. Tapi berhubung space terbatas aku berharap ini akan dibahas oleh blogger yang lain.

Mbak Dy aku mau bilang, “Aku bangga sama My Wedding Dress ini. Peningkatan kualitas tulisanmu terasa. Memang belum perfect. Tapi ini bikin aku akan terus menunggu karya – karya kamu berikutnya, Mbak”

“Berapa banyak orang yang merasa hidupnya kurang dan nggak bahagia, padahal dia punya segalanya? Bahagia itu bukan tentang apa yang kamu punya, apa yang udah kamu lakuin. Buatku bahagia itu tentang mensyukuri hidup dan menikmatinya sebaik mungkin. Dan, itu sama sekali nggak sederhana.” (Hal. 131)
***

“One bad day is just that; one bad day. Jangan sampai satu hari buruk merusak kebahagiaan yang sedang mengantre untuk menghampiri kehidupan kita.” (Hal. 18)

Aku mau bahas tentang “My Wedding Dress”. Bagi perempuan, pernikahan adalah satu hal yang mendebarkan. Kelak semua harus sempurna. Benarkan? Rangkaian acara, bungsa yang dipakai, dekorasi tempat, dan lain sebagainya. Termasuk pilihan pakaian yang akan dipakai saat pernikahan nanti. Tapi kenyataannya kadang semua hal tidak sesuai rencana. Tapi abaikan itu. Sekarang aku mau ngajakin seluruh, Readers, membayangkan Wedding Dress impian masing – masing. Di bawah ini, ada satu tip dari Abby tentang memilih gaun pengantin.

Kalau aku, pakaian pengantin impianku? Baju pengantin berwarna putih dengan
tambahan warna biru. Entah dengan renda atau swarovski. Karena aku mencintai laut dan langit. Gambar di bawah ini sedikit menggambarkan yang aku harapkan. Tentu saja dengan lengan panjang dan gaun yang panjang hingga di bawah mata kaki. Nggak harus berekor panjang.

 

sumber gambar di sini

 

Apa itu terwujud? Nggak. Tapi tidak berarti hari bahagiaku nggak layak dikenang 🙂 Tapi nggak apa kan jika aku tetap menyimpan mimpi itu? Menjadikannya cerita bagi anak cucuku nanti bahwa dulu aku mau nikahnya dengan baju gimana dan malah nikah dengan baju adat dan gaun pengantin warna abu- abu pink 🙂