“Emas
murni tidak takut ditempa dengan api. Cinta tidak takut menunggu.”
(Hal. 167)
Penulis: Giddens Ko
Penerjemah: Julianti
Penyunting: Arumdyah
Tyasayu
Proofreader: Selsa
Chintya
Cover Designer: Bambang
‘Bambi’ Gunawan
Penerbit: Haru
Cetakan: Pertama,
Januari 2016
Jumlah hal.: 404
halaman
ISBN:978-602-7742-70-3
Dalam
hidup ini,
ada beberapa kali saat di mana jantung
berdegup dengan kencang,
dan kata-kata tidak sanggup terucap?
Aku
belum pernah berpacaran,
tapi aku tahu bahwa seseorang yang percaya pada cinta,
seharusny menghargai momen setiap kali
jantungnya berdebar,
kemudian dengan berani mengejar kali berikutnya,
kali berikutnya,
dan kali berikutnya lagi.
Di
dalam sebuah cafe kecil,
setiap orang sedang menunggu seseorang.
***
“Mengajarkan
bahwa bersandar pada gunung, gunung bisa runtuh; bersandar pada orang, orang akan
menjadi tua; unuk mendapatkan kebahagiaan, yang terbaik tetaplah mengandalkan
diri sendiri.” (Hal. 6)
Novel
Cafe
Waiting Love
ini bercerita tentang kehidupan Li Siying dengan
orang-orang terdekatnya. Kisah yang banyak bertempat di Cafe Waiting Love milik
Nyonya Bos yang nyentrik.
Siying
bekerja  sebagai pelayan (juga merangkap
barista) di Cafe Waiting Love. Rekan kerjanya, Albus, adalah seorang lesbian
yang sangat irit berbicara namun juga seorang pengamat yang jeli. Siying
tertarik pada salah seorang pelanggan di kafe tersebut. Zeyu, mahasiswa
Universitas Chiao Tung. Rasa kagumnya pada sosok laki-laki itu membuat Siying
bertekad untuk kuliah di universitas yang sama.
Suatu
hari Siying mendengar cerita tentang A Tu yang kerap diolok oleh teman-temannya
karena berita bahwa pacarnya direbut oleh seorang lesbian. Mendengar cerita
itu, Siying sangat bersimpati pada orang tersebut. Ternyata Siying bertemu
langsung dengan pria itu dan akhirnya membela A Tuo, ya kakaknya salah
mengingat nama, di hadapan teman-teman A Tuo. Ini karena Siying amat geram
dengan sikap A Tuo yang terkesan lemah hingga teman-temannya terus mengoloknya.
Sejak itu, Siying pun berteman dengan A Tuo.
Berkenalan
dengan A Tuo membawa Siying ke kehidupan yang lebih berwarna. Ia berkenalan
dengan banyak orang yang unik. Ada Bibi Pisau Emas, Paman Pisau Emas, Kepala
Besi, Abang Bao si Raja Pembantai Orang di Hsinchu, dan orang-orang unik
lainnya. Siying pun menikmati pertemanan itu.
Di
sisi lain, Siying masih terus menyimpan ketertarikannya pada Zeyu. Hingga suatu
hari Zeyu putus dengan kekasihnya dan Siying pun memberanikan diri menyapanya.
Mereka pun jadi memiliki hubungan yang menarik. Siying kemudian berhasil masuk
di universitas yang sama dengan Zeyu. Namun sayangnya Zeyu masih belum
menyadari perasaan Siying.
Lantas
apa keputusan Siying saat ia dihadapkan pada keputusan untuk menelaah
perasaannya pada A Tuo dan Zeyu? Apakah rasa nyaman bersama A Tuo memang hanya
karena persahabatan? Apakah “seseorangnya” adalah Zeyu?

“Masuk
kuliah pastilah proses kehidupan yang seperti sihir, bisa mengubah siswa SMA
yang bagaikan zombi seakan terlahir kembali.” (Hal. 17)
***
“…,
seorang laki-laki yang tidak percaya tentu saja tidak akan dapat bergerak untuk
mengejar perempuan yang disukainya. Lagi pula, tidak ada perempuan yang
menyuukai laki-laki yang tidak percaya diri. Itu bagaikan menampung seorang
gelandangan kecil ingusan yang tidak berdaya.” (Hal. 27)
Saat
mengetahui bahwa Penerbit Haru kembali menerbitkan karya Giddens Ko, saya sudah
tertarik membelinya. Ini karena novel You’re the Apple of My Eye berhasil
membuat saya gemas dengan kisah masa remaja tokohnya. Ternyata Cafe Waiting
Love pun tidak kalah menarik. 
Novel
ini bercerita menggunakan sudut pandang orang pertama dari sisi Siying. Melalui
sudut pandang ini, pembaca disuguhi kehidupan penuh warna seorang remaja
perempuan di Taiwan. Tidak jauh berbeda dengan remaja di Indonesia. Percintaan
dan persahabatan adalah salah satu hal yang paling banyak mendominasi kehidupan
seorang remaja.
Dengan
penggunaan sudut pandang ini, kesan ceria dan sangat spontan dari sosok Siying
sangat terasa. Saya malah ingin memberi gelar “tukang ikut campur yang baik
hati” pada gadis ini. Sifatnya itu membuat Siying berani mengorek kisah tentang
hal aneh yang dilakukan sang bos dengan menu “Racikan Spesial Nyonya Bos yang
Rasanya Tidak Pasti”. Selain itu, sifatnya itu pula yang membuatnya bisa berkenalan
di A Tuo dan Zeyu. Sikapnya itu pula yang membuat Siying dan Albus menjadi
akrab. Sikap itu pula yang membuat Siying bisa nyaman dalam lingkungan
pergaulan A Tuo yang unik.
Membaca
novel ini, akan mengundang banyak tawa. Ya, jika harus mengklasifikasikan novel
ini, saya akan menyebutnya sebagai “Komedi Romantis”. Tokoh-tokoh yang unik
seperti Bibi Pisau Emas, Abang Bao, Xiao Cai si Master Seni Keajaiban Tubuh,
hingga Cangzi si Master Game membuat seluruh cerita ini menjadi seru. Serasa
membaca komik namun dalam bentuk novel. Deskripsi dalam novel ini pun sangat
hidup. Detailnya pas.
Bagi
yang sering kali menilai sebuah cerita dengan “logika” atau “masuk akal/ tidak
masuk akal”, maka pasti akan menggerutu bagaimana mungkin kehidupan milik A Tuo
itu nyata? Tapi ya itulah fiksi. Kadang sisi ini akan termaafkan karena
ceritanya dikemas dengan sangat menarik.
Ah,
membayangkan diri jadi Siying. Pasti hidup jadi sangat ceria. Tokoh kesukaanku
selain A Tuo adalah Abang Bao. Saat membaca cerita perkenalan Siying dengan Abang
Bao rasanya ingin tertawa. Begitu saat bagian yang bercerita tentang
penyerangan apartemen Abang Bao yang mengancam nyawa A Tuo dan Siying, rasanya
jadi terharu.
Kepada
Penerbit Haru dan seluruh stafnya khususnya penerjemah, editor hingga first reader, terima kasih
sudah membuat karya ini bisa dinikmati dengan baik dalam bahasa Indonesia.
Oiya, bagaimana rasanya saat menemukan kata Indonesia dan Sulawesi dalam novel
ini (hal. 51, hal. 155)? Keren ya, kopi Indonesia ternyata bisa masuk dalam
cerita yang ditulis oleh orang asing. Bangga deh jadi orang Indonesia. Oiya,
pacar teman seasrama Siying adalah orang Indonesia kan? Sepertinya Giddens Ko
suka dengan Indonesia ya? *ini tebakan yang ngasal sih :D*
“Masalah
apa pun, semuanya seperti itu. Seluruh jawabannya sudah tergambar jelas di
benak masing-masing sebelum pertanyaannya terbentuk.” (Hal. 21)
***

“Kesempatan
diberikan pada orang yang sudah membuat persiapan.” (Hal. 41)
“Kejadian
memalukan sebenarnya bisa dialami oleh siapa saja. Tapi ada saja orang yang
akan terus mengingatkan kenangan yang tidak menyenangkan itu, kemudian
menertawainya. Ini adalah perilaku yang sangat kejam.” (Hal. 50)
“Cinta
tidak membicarakan perasaan bersalah.” (Hal. 59)
“Ada
beberapa hal yang sejak dimulai sudah ditentukan akhirnya. Berusaha pun tidak
ada gunanya.” (65)
“Kemampuan
telinga untuk memahami jauh lebih kuat dibandingkan mata. Itulah sebabnya
perempuan lebih suka mendengarkan kata-kata manis.” (Hal. 122)

“Dari
kopi, klub, setiap detail kecil, aku merasa bahwa sangatlah masuk akal untuk
bisa mengenal baik seseorang dengan memperhatikan hal-hal kecil tentangnya.”
(Hal. 169)
“Kalau
sudah berusaha, tentunya tidak akan ada penyesalan setelahnya.” (Hal. 212)
“…
bisa dibilang bahwa berusaha tetaplah yang paling penting, baik terhadap diri
sendiri maupun terhadap orang lain.” (Hal. 214)
“Sendirian
saat semua orang bergembira adalah saat paling kesepian.” (Hal. 251)
“Sayangnya,
kebanyakan orang senang dengan cinta, tapi merasa kalau cobaan cinta adalah
sesuatu yang berlebihan dan amat kejam.” (Hal. 271)
“Mungkin
hubungan persahabatan juga memerlukan ujian. Hanya hubungan kekeluargaanlah
yang memiliki dasar paling kuat.” (Hal. 273)
“Aku
menyadari bahwa riwayat pendidikan seseorang tidak ada hubungannya dengan
kebahagiaan dalam hidup seseorang. Yang paling penting adalah sikap orang
tersebut dalam menjalani hidup–bisa atau tidaknya dia memandang diri sendiri
dan dunia ini secara lucu” (Hal. 386)