“Kalau
kau sedang gundah, angkatlah kepalamu dan pandanglah langit di atasmu. Di sana
kau akan menemukan ketanangan yang kau cari.” (Hal. 228)

Penulis: Laili
Muttamimah
Penyunting: Anida
Nurrahmi
Perancang Sampul dan
Isi: Deborah Amadis Mawa
Penata Letak: Teguh Tri
Erdyan
Penerbit: Ice Cube
Cetakan: Pertama,
Februari 2015

Jumlah hal.: vii + 298
halaman
ISBN: 978-979-91-0817-3
“Aku berharap musim dingin dapat membekukan rasa sakitku,” ujarku lirih.

“Begitu?” tanya laki-laki itu, asap putih yang hangat keluar dari mulutnya.
“Kau pikir, ketika rasa sakit itu membeku, kau tidak akan merasakan sakit
lagi?”

“Mungkin begitu.”

“Kurasa kau tidak akan bisa membekukan rasa sakitmu.”

“Kenapa?”

“Karena rasa sakitmu akan mencair ketika musim semi tiba.”

Tiap tahun, Miyazaki Sora selalu menantikan kedatangan musim dingin.
Titik-titik putih yang jatuh dari langit berarti tiba waktunya untuk bermain di
halaman bersama sang ayah, sementara si ibu akan menyiapkan hidangan lezat di
meja makan. Di balik gunungan salju yang menumpuk di halaman, Sora menemukan
kehangatan kasih sayang kedua orangtuanya. Namun itu dulu. Sebelum suatu
rahasia yang terbongkar di musim dingin tiga tahun lalu merenggut nyawa ibunya.
Sebelum judi dan alkohol menjerat perhatian ayahnya. Sebelum Sora memilih
melanjutkan hidupnya dengan menapaki jalan yang salah.

***
“….
Kau tahu, dunia adalah tempat manusia menanam benih – benih keberuntungan.
Kurasa tidak ada manusia yang ingin rugi.” (Hal. 38)
Sora
adalah seorang remaja yang duduk di bangku kelas 3 di Hyouka Gakuen. Sebuah
tragedi di dalam keluarganya merenggut kebahagiaannya. Ibunya yang tiada dan
ayahnya yang menjadi pemabuk membuat Sora harus menghadapi semua hal sendirian.
Termasuk kebutuhan ekonomi.

Ini
membuat Sora memutuskan untuk mengambil langkah yang salah. Ia membutuhkan uang
untuk membayar biaya hidup ia dan ayahnya serta membayar hutang judi sang ayah.
Sedang usaha ayahnya telah bangkrut dan menjadi pengangguran. Maka Sora pun
memutuskan menerima tawaran untuk bekerja kapada Ken sebagai perempuan malam.
Ia menjajakan dirinya. Namun identitasnya di malam ini ia sembunyikan dengan
rapi. Sahabatnya di sekolah yakni Risa dan Sae bahkan tidak tahu tentang hal
ini. 

Suatu
saat hari berlangsung dengan buruk dan malamnya harinya Sora bertengkar dengan
ayahnya. Ia pun berusaha menenangkan diri di sebuah taman, dan tanpa sengaja
bertemu dengan seseorang. Orang itu lantas meminjamkan mantel biru miliknya dan
meninggalkan Sora sendirian bergumul dengan perkataan yang sempat laki – laki
itu ucapkan.
Beberapa
hari kemudian, Sora mendapati laki – laki yang mantel birunya masih ada pada
Sora itu berdiri di depan kelas. Ia adalah murid baru di kelas Sora. Namanya
Yoshida Haru. Namun kenapa Haru bersikap seolah mereka tidak pernah bertemu
sebelumnya?
Setelah
itu satu persatu kebenaran terkuak termasuk pekerjaan Sora. Lantas bagaimana
hidup Sora selanjutnya? Akankah ia menyerah dan meninggalkan Ayahnya yang tidak
kunjung mau meninggalkan judi dan minuman keras? Apa pendapat teman dan
sahabatnya setelah tahu pekeraan Sora sebagai perempuan malam? Dan ada apa
dengan Haru? Siapa dia?
“Kau
tidak akan tahu caranya bangkit jika kau tidak pernah jatuh, Sora,” (Hal. 62)
***
“Jika
kau ingin seseorang memperhatikanmu, maka kau harus mencoba untuk memperhatikan
sekelilingmu.” (Hal. 120)
Cerita
dibuka dengan narasi tokoh utamanya tentang musim dingin. Penggunaan sudut
pandang orang pertama membuat penuturan tokoh Sora menjadi sangat personal.
Setelah itu pembaca langsung disuguhi gambaran yang membuat pembaca langsung
menebak pekerjaan Sora sebagai perempuan malam.
Setelah
itu, cerita dituturkan dengan runut. Kemudian yang cukup mewarnai cerita adalah
kehadiran tokoh Akiyama Airi. Akiyama Airi adalah teman sekelas Sora yang jadi
korban pembullyan yang dilakukan oleh Sora dan kawan – kawannya. Sejak awal
cerita hingga akhir, peran ini memiliki menjadi peran pendukung yang cukup
menarik diamati. Ini karena karakter Akiyama Airi adalah karakter yang ikut
berkembang bersama perkembangana karakter Sora. Sedangkan Sae dan Risa serta
Haru tidak.
Twist
cerita sebenarnya cukup mudah ditebak. Hubungan antara Sora dan Haru. Namun
tetap saja membuat saya penasaran tentang bagaimana penulis akan mengakhiri
kisah ini. Ya, diakhiri dengan manis dan berakhir indah.
Sayangnya,
ada beberapa pengulangan yang tidak perlu yang dilakukan di buku ini. Yaitu
tentang filosofi bunga sakura. Beberapa kali ia disebutkan dan berulang dan
menurut saya malah mengganggu saat dibaca.
Namun
penambahan bagian saat Sora ke Kamakura menjadi salah satu nilai lebih bagi
novel ini. Penjelasan tentang beberapa destinasi wisata di Kamakura menjadi
informasi yang menarik dicerna meski deskripsi latar belum benar – benar smooth. Tapi sudah cukup bagus.
Ini
adalah buku pertama Laila Muttamimah yang saya baca dan cukup bagus. Ditunggu
karya berikutnya. Semoga semakin menarik 🙂
“Bunga
sakura selalu mekar dan jatuh bersamaan. Ia tidak pernah membenci angin yang
membawanya jatuh, juga musim panas yang membuatnya berubah warna. Ia akan tetap
memancarkan keindahannya, membuat siapa pun yang melihatnya akan merasa
bahagia.” (Hal. 158)
***

Puisi
yang terinspirasi oleh Haru no Sora

Aku
melangkah sendiri
Menghadapi pedih
Menentang dunia yang keji
Memilih jalan penuh duri

Hingga kau datang
Menantang
Menyajikan dunia yang ceria dengan harap yang merentang

Lantas setelah ini bagaimana ku jalani hidupku?
Sebab benar yang kukira selama ini bukan lagi kebenaran
Akankah semua akan tetap baik-baik saja?

***
“…,
karena sebesar apa pun rasa sayang seorang perempuan pada pasangannya,
ayahnyalah yang menjadi cinta pertamanya.” (Hal. 161)
“….
Cinta yang sesungguhnya adalah perasaan yang mampu membuatmu menerima orang
itu, bagaimanapun keadaannya, apa pun kesalahannya, seolah rasa benci sekalipun
tak mampu membuatmu mengabaikannya – …” (Hal. 222)
“…
saat orang yang kau sayang adalah orang yang membuatmu sakit paling dalam, kau
tetap tidak akan pernah bisa membencinya – apalagi melupakannya.” (Hal. 282)