“Karena
hati memiliki peraturan yang berbeda dengan logika.” (Hal. 132)


Penulis: Dy Lunaly
Penyunting: Dila
Maretihaqsari
Perancang dan ilustrasi
sampul: Nocturvis
Ilustrasi isi: Dy
Lunaly
Pemeriksa aksara:
Pritameani
Penata aksara: Anik Nurcahyani
Penerbit: Bentang
Pustaka
Cetakan: Pertama, April
2016
Jumlah hal.: vi + 334
halaman
ISBN: 978-602-291-174-6
Gytha
terpaksa menerima tawaran kerja sebagai host chef di salah satu acara televisi.
Ia memenuhi utang budi kepada teman lama meski sebenarnya tidak yakin bisa
melakukannya. Ditambah lagi Gytha tidak sendiri, Executive Chef di Olive Garden
itu akan menjadi host bersama Wisnu, seorang penyanyi yang sedang naik daun.
Meski
rupawan dan mutlak digandrungi para wanita, pria itu memberi kesan pertama yang
buruk kepada Gytha. Wisnu Kanigara, tidak lebih dari seorang selebritas yang
angkuh dan menyebalkan. Lebih menyebalkan lagi karena mereka harus sering
bersama dan terlihat akrab.
Sejak
itu, kehidupan Gytha tidak lagi tenang. Ia menjadi incaran media gosip Tanah
Air yang haus berita akan kedekatannya dengan Wisnu. Media terus berusaha
mengorek apa pun tentangnya. Sampai-sampai hal yang paling dirahasiakan Gytha,
tentang masa lalunya kelamnya, berhasil diungkap media. Gytha sungguh menyesali
keputusannya mengambil pekerjaan ini. Ia menyesal mengenal Wisnu. Ia juga
menyesal telah terjebak dalam rasa yang tak seharusnya ia simpan untuk pria
itu.
***
“….
Kangen sama kayak cinta, kan, Ne? Nggak butuh alasan. Pokoknya kamu kangen.
Pokoknya kamu cinta. Udah.” (Hal. 2)
Kehidupan akan selalu
memaksa manusia untuk membuat pilihan-pilihan hidup. Hidup yang dijalani hari
ini adalah akumulasi dari pilihan-pilihan yang telah diputuskan sebelumnya. Ini
pula yang dialami Gytha.
Gytha
memutuskan untuk membantu teman lamanya, Diandra Dwi Wijaya, demi melunasi
hutang masa lalu. Ia menerima tawaran menjadi host chef dalam acara televisi yang ditangani oleh temannya
tersebut. Karena tidak mengganggu aktivitasnya sebagai Executive Chef di Olive Garden, serta karena berbagai pertimbangan
lainnya, akhirnya Gytha menerima tawaran itu. Namun ada beberapa hal yang
meleset dari pertimbangannya: Pertama, ia tidak akan memandu acara tersebut
sendirian melainkan bersama seorang penyanyi papan atas yang sedang digandrungi,
Wisnu Kanigara; Kedua, ia akan kehilangan privasi dan kelak ini akan membuat
semua rahasia yang selama ini ia tutup rapat-rapat terkuak ke publik.
Oiya,
terakhir yang gagal ia antisipasi tumbuhnya perasaan khusus pada Wisnu.
Perkenalan pertama mereka sangat menyebalkan. Namun seiring waktu dan
terkuaknya banyak rahasia Wisnu, Gytha ternyata merasa nyaman bersamanya. Meski
terkadang tetap saja dirinya dihinggapi kebingungan dan keraguan. Tapi Gytha
selalu berusaha untuk percaya bahwa hubungan mereka memang memiliki masa depan.
Tapi
benarkah hubungan mereka memiliki masa depan? Sanggupkah Gytha melindungi semua
yang ia cintai jika banyak rahasia yang harus dia jaga demi kebahagian orang
yang paling berharga baginya? Ataukah sebenarnya ia dan Wisnu memang hiduup di
dunia yang berbeda? Tidak akan pernah bisa saling mengerti seutuhnya?
“Buat
seorang ibu tidak ada yang lebih penting selain kebahagiaan anaknya. Sekalipun
itu berarti meninggalkan sumber kebahagiaannya sendiri, kan?” (Hal. 3)
***
“Saat
ini waktu adalah musuh terbesar Wisnu. Musuh yang berat karena waktu tidak
pernah ingin mengalah kepada siapa pun.” (Hal. 8)
Novel
Il Tiramisu adalah salah novel dalam seri YummyLit terbitana Bentang Pustaka.
Seri ini adalah seri baru yang keluar tahun 2016 ini. Selain Il Tiramisu, ada
pula Deesert dan Strawberry Cheesecake. Seri ini menghadirkan filosofi cinta
dalam sebuah makanan.

Il
Tiramisu adalah novel baru karya Dy Lunaly. Sama dengan novel terakhirnya, My
Wedding Dress, sasaran pembacanya sudah berbeda dengan novel-novel karyanya
sebelumnya. Il Tiramisu kembali menyasar pembaca dewasa. Dan ini tidak hanya
terasa di adegannya saja melainkan dalam konfliknya.
Adegan
dewasa? He..he.. jangan membayangkan adegan “kipas-kipas” yang ada di novel
dewasa. Memang ada adegan kissing,
dan sejujurnya ini pertama kalinya saya membaca novel karya Dy Lunaly yang
mengandung adegan ini, antartokoh utamanya. Tapi cara Dy Lunaly
menggambarkannya tidak vulgar sama sekali dan tidak mendetail. *emang kamu
ngarepin apa, Tria?*
Selain
itu, yang cukup berbeda dari karya Dy Lunaly kali ini adalah konflik yang
memang cukup dewasa. Kehadiran Nakhla, anak yang sangat disayangi oleh Gytha
menjadikan konflik ini memang lebih kompleks. Menjadi orang tua bukanlah hal yang
mudah kan? Apalagi jika itu melibatkan usia yang masih muda, percintaan yang
tidak biasa, serta cita dan impian.
Dalam
hal penokohan, semua tokoh di dalam novel ini cukup konsisten. Setiap tindakan
punya alasan. Meski ada satu kejadian yang rasanya masih kurang memiliki alasan
yang kuat. Kejadian itu adalah saat Gytha sakit dan Wisnu datang ke rumahnya
untuk merawat Gytha. Saat ini chemistry mereka belum benar-benar terbangun. Sikap
Wisnu terkesan cukup absurd. Tapi setelah dipertimbangkan lagi, bahkan di dunia
nyata pun, cinta kadang membuat orang bertindak absurd kan?
Kekurangan
yang paling terasa dari novel ini adalah chemistry
antara tokoh Wisnu dan Gytha yang terkesan dibangun terburu-buru. Perubahannya
terlalu mendadak. Kurang smooth meski
kehadiran sosok Jendra bisa menjadi pemicu, namun tetap saja rasanya terlalu
mudah. Padahal pertemuan pertama mereka berlangsung sangat buruk dan
meninggalkan kesan yang juga buruk terutama bagi Gytha.
Namun,
di luar semua kekurangan itu, harus diakui bahwa Dy Lunaly termasuk salah satu
yang piawai membangun suasan romantis antartokohnya. Ia pandai menciptakan
adegan romantis yang tidak terkesan berlebihan. Juga menciptakan tempat-tempat
yang indah melalui deskripsinya.
Selain
itu, selipin email antara Gytha dan Ernest memberi warna tersendiri bagi
cerita. Email-emailan mereka menjadi pendukung untuk memahami Gytha lebih jauh
sekaligus menimbulkan dugaan baru tentang siapa tokoh Ernest. Terlebih saat
tokoh ini mewujud secara nyata dan ikut hadir di tengah hubungan Wisnu dan
Gytha.
Secara keseluruhan, novel ini manis untuk “disantap” apalagi kalau sambil menikmati menu tiramisu 😀
“…
tidak pernah ada yang benar-benar sederhana di dunia ini. Sesuatu yang terlihat
sederhana pada awal pastinya menyimpan kerumitan setelahnya.” (Hal. 28)
***
Tokoh Favorit
Dari semua tokoh yang
ada di dalam novel ini, yang jadi kesayanganku adalah Ernest. Ernest seperti
obat penenang bagi Gytha. Ia tahu apa yang harus didengar oleh Gytha meskipun
juga tahu apa yang ingin di dengar oleh perempuan mandiri itu.
Ernest
terasa sebagai laki-laki yang mampu bersikap santai dalam menghadapi hidup
namun tidak menggampang sebuah masalah. Tapi satu catatan penting! Ernest tidak
akan pernah masuk dalam daftar karakter yang akan kujadikan pasangan. Kenapa? Hm..
sepertinya ia tipe laki-laki yang akan bersikap manis pada semua perempuan.
Ha..ha..
***
Quote Favorit
“Masa
lalu memang tidak bisa mendefinisikan siapa kamu. Tapi, masa lalu itu nggak
pernah bisa dibuang. Daripada kamu menghabiskan tenaga untuk membuangnya,
kenapa tenaga itu nggak kamu pakai untuk menerimanya?” (Hal. 242)
Quote
ini termasuk quote favortiku. Mengingatkan kita bahwa masa lalu tidak akan
pernah bisa diabaikan. Tidak bisa dibuang. Ia harus dihadapi dan diterima. Jangan
menjadikan kita takut menghadapi masa depan. Namun menjadikan kita lebih kuat
menghadapi apa yang akan datang.
***
Kumpulan Quote dari Il Tiramisu
“…
kopi adalah minuman yang unik. Setiap biji kopi memiliki tekstur dan rasa yang
berbeda.” (Hal. 37)
“…,
lo selalu bilang kalau manusia itu yang dipegang janjinya.” (Hal. 67)
“Hidup
kalau nggak ada tantangannya nggak bakalan berkembang.” (Hal. 92)
“Kamu
bisa aja ngerencanain hidup kamu lurus tanpa hambatan. Tapi, percaya sama Ayah.
Nggak ada hidup yang mulus dan gampang karena perjuangan itu satu-satunya bukti
bahwa kita hidup.” (Hal. 95)
“Baginya,
kopi itu serupa wine. Rasa setiap biji kopi sangat bergantung pada tempat kopi
tumbuh, temperatur udara, dan kadar airnya. Kopi juga selalu berhasil membangun
mood dan membuatnya bersemangat.” (Hal. 105)

Nggak semua orang pernah merasa tersesat dan capek dengan hidupnya karena udah
berusaha sekuat tenaga, tapi belum dapat apa yang dia mau. Rasanya cuma
muter-muter di tempat yang sama dan itu melelahkan.” (Hal. 131)
“Hidup
itu kaya labirin kaca, …. Kita kayaknya merdeka, tapi sebenarnya terikat sama
benang yang nggak kelihatan: takdir. Konyolnya takdir itu sering kali bikin
kita muter di tempat.” (Hal. 132)
“Kenangan
adalah campuran dari berkah dan kutukan, tidak ada yang tahu apa yang kamu
dapatkan ketika mengingatnya.” (Hal. 144)
“Sadar
atau enggak, kita semua pakai topeng.” (Hal. 150)
“Nggak
peduli semanis apa pun kisah cinta kita, pasti ada bagian pahitnya. Gitu juga
sebaliknya. Mau sepahit apa pun cinta kita, mau sebanyak apa pun cobaannya,
kalau kita nggak pernah nyerah, kita pasti bakal nemuin manisnya.” (Hal. 220)
“Nggak
ada hubungan yang mudah, Jen. Nggak ada. Tapi, hubungan kita ini layak untuk
diperjuangin.” (Hal. 224)
“…,
sesuatu itu terlihat menarik dan dibicarakan terus menerus karena mereka nggak
tahu kenyataan sebenarnya. Tapi, ketika mereka tahu, seketika itu menjadi
membosankan.” (Hal. 243)
“…
siapa pun orang tua saya dan apa pun yang mereka lakukan ke saya, mereka tetap
orang tua saya. Saya ingin menghormati mereka dengan mengakui keberadaan
mereka.” (Hal. 248)
“Masa
lalu saya memang tidak akan pernah bisa berubah. Tapi, saya sendiri yang akan
menentukan masa depan saya.” (Hal. 248)
“Nggak
masalah berapa tahun yang kamu butuhkan, Gyth, karena pemahaman selalu hadir
pada saat yang tepat. Ketika kamu sudah siap.” (Hal. 254)
“Selama
dirinya dikelilingi orang-orang yang menyayanginya dengan tulus, dia yakin
bahwa dia mampu menghadapi apa pun.” (Hal. 256)
“Anak
kecil paling sedih kalau lihat orangtua, terutama ibunya, sakit.” (Hal. 271)
“Pakai
logika kamu. Jangan pernah biarin emosi ngalahin akal sehat.” (Hal. 290)
“Kamu
nggak bisa jadi chef kalau setengah hati. Chef itu nggak cuma masak, tapi harus
ngerti bahan makanan, membayangkan rasa, melihatnya terlihat menggiurkan, juga
memastikan masakannya memiliki rasa yang sesuai dengan keinginan pemesanan.”
(Hal. 311)
“Tapi
nggak semuanya berakhir kayak yang aku pengin. Nggak peduli sebesar apa usaha
yang aku lakukan hasilnya nggak pernah sesuai harapan.” (Hal. 313)
“…,
perpisahan tidak pernah mudah. Terlebih ketika perpisahan itu terpaksa
dilakukan.” (Hal. 32)