“Pembunuh
sadis suka menyisipkan ejekan kepada penontonnya. Kitalah penontonnya.” (Hal
34)

25082874
Penulis:
Ruwi Meita
Editor:
Sulung S. Hanum & Jia Effendie
Penyelaras
akhir: Yuke Ratna P & Idha Umamah
Penata
Letak: Wahyu Suwarni
Penyelaras
akhir tata letak: Fajar Utami
Desainer
Sampul: Amanta Nathania
Penerbit:
Gagas Media
Cetakan:
Pertama, 2015
Jumlah
hal.: vi + 278 halaman
ISBN:
978-979-780-786-3
Dia sangat sadis. Dan, dia
masih berkeliaran.

Seorang pianis ditemukan mati,
terduduk di depan pianonya, dengan bibir terjahit.
Bola matanya dirusak, meninggalkan lubang hitam yang amat mengerikan.
Rambut palsu merah panjang menutupi kepalanya.
Sementara, otak dan organ-organ tubuhnya telah dikeluarkan secara paksa.

Kulitnya memucat seputih garam.
Bukan, bukan seputih garam.
Tapi, seluruh tubuh sang pianis itu benar-benar dilumuri adonan garam.

Kiri Lamari, penyidik kasus ini,
terus-menerus dihantui lubang hitam mata sang pianis.
Mata yang seakan meminta pertolongan sambil terus bertanya,
kenapa aku mati?
Mata yang mengingatkan Kiri Lamari akan mata ibunya.
Yang juga ia temukan tak bernyawa puluhan tahun lalu.

Garam? Kenapa garam?

Kiri Lamari belum menemukan jawabannya.
Sementara mayat tanpa organ yang dilumuri garam telah ditemukan kembali….

Dia sangat sadis. Dan, dia masih berkeliaran.

***

“Takkan
habis cinta selama ada perempuan di dunia ini. Takkan habis juga perkara
karenanya.” (Hal. 112)

Cerita
dibuka dengan sebuah prolog yang menggambarkan karakter awal pelaku yang
memiliki “kegilaan” serta menggambarkan ketakutan korbannya. Setelah itu cerita
berlanjut ke kronologi kejadian penemuan mayat seorang pianis. Dari sanalah
teror itu dimulai.
Kiri
Lamari baru saja mendapat mutasi dari kantornya. Dari Bojonegoro ke
Surabaya. Kini ia berpangkat sebagai inspektur polisi dua. Kedatangannya ke
kota Surabaya segera disambut oleh kasus kematian seorang pianis perempuan.
Kematian pianis ini cukup sadis sebab mayatnya dibungkus dengan adonan garam
dan organ tubuhnya dikeluarkan agar tidak segera membusuk. Bahkan pelaku
kemungkina besar sudah memperkirakan waktu penemuan mayat tersebut. Dan untuk melengkapi kengerian pembunuh tersebut juga meninggalkan
sebuah simbol.
Sayangnya
kematian pianis itu hanyalah awal. Masih ada kematian lain yang sudah
mendekat. Korban berikutnya adalah seorang pelukis. Korbannya pun tetap saja
perempuan. Dan kondisi mayatnya persis sama dengan mayat pianis tersebut.
Sayangnya, waktu penemuan mayat tidak sesuai dengan keinginan pelaku. Panggung
artistik yang digelarnya rusak karena mayat pelukis tersebut terlambat
ditemukan.

Kemudian
korban ketiga muncul. Kali ini seorang juru masak. Ia ditemukan dalam keadaan
telanjang. Dengan tubuh yang dilumuri adonan garam. Hanya saja kali ini ada
perbedaan. Perbedaan pertama adalah kejadiannya buka di Surabaya melainkan di
Yogya dan organ dalam juru masak tersebut tidak sempat dikeluarkan.
Jadi,
sebenarnya ada apa? Kenapa modusnya berubah? Ada apa dengan profesi-profesi ini? Ada
apa dengan garam? Kenapa garam? Dan apa makna simbol yang ditinggalkan pelaku.

“…,
bukankah sebenarnya setiap manusia memiliki kadar kegilaan dalam dirinya? Entah
kecil atau besar. Waras adalah saat semua kegilaan itu bisa dikontrol dan semua
itu memerlukan pegangan hidup. Bagaimanapun, iman dan moral sangat membantu
dalam hal ini.” (Hal. 148)

***

“Seorang
monster memang lebih berumur panjang dari malaikat. Monster lebih tahu cara
mempertahankan hidup, meski dibinaskan berkali-kali.” (Hal. 260)

Sejujurnya
saat selesai membaca novel detektif ini, ada rasa bangga yang menyelusup di
dada saya. Pikir saya, “Akhirnya, ada juga novel detektif dalam negeri yang
asyik dan menarik untuk diikuti.” Tanpa sengaja otak saya memutar ingatan
tentang buku detektif terakhir yang saya baca yaitu “Silkworm”. Dan saya
merasa, saya lebih menyukai Misteri Patung Garam. Lebih terasa nuansa
detektifnya.
Namun,
membaca ini, jangan mengharapkan penuturan ala Sherlock Holmes atau Poirot. Ini karena cerita ini bukan untuk menggiring pembaca menemukan pembunuhnya sebab di pertengahan cerita kecurigaan sudah mengerucut. Yang menarik diikuti adalah proses hingga Kiri Lamari berhasil membuktikan pelaku tersebut.

Selain itu, Kiri Lamari digambarkan sangat manusiawi oleh penulisnya. Kiri Lamari
yang ditampilkannya adalah sosok laki-laki cerdas yang cenderung cool. Ia pun punya masa lalu dan ternyata
dihantui oleh bayangan masa lalu tersebut.

Sayangnya,
saya merasa ada sedikit ketidak konsistenan dalam penggambaran karakter Kiri
Lamari. Ini karena Kiri sejak awal digambarkan berpembawaan tenang dan
cenderung menyimpan emosinya. Tapi di halaman 64, penulis menggambarkan Kiri
terkikik. Ini seolah menyamarkan citra cool
 yang saya bangun di kepala untuk
Kiri. Selain itu saat digambarkan bahwa pipi Kiri memerah karena rayuan manis
Kenes, kekasihnya, saya semakin merasa bahwa sosok Kiri ini jadi kurang
konsisten. Tapi di luar itu semua, saya suka dengan penggambaran Ruwi Meita
atas tokoh Kiri maupun tokoh lainnya.
Untuk
kehadiran sosok Ireng. Kehadiran sosok ini ternyata sejak awal memang untuk
mewarnai keseluruhan cerita. Sosok Ireng bukan hanya sekedar pelengkap. Ia
adalah penghidup cerita. Seandainya Ruwi Meita tidak menciptakan Ireng, maka
mungkin kesuluruh cerita akan selalu tegang dan jadi terkesan flat.
Dan
untuk kasusnya, ini adalah penggambaran yang cerdas. Ide tentang patung garam
ini pun menarik dan saya yakin tidak dilakukan dengan riset seadanya. Dan ini
membuat saya senang membacanya. Sebab saya jadi tahu sebuah informasi baru dan
menarik. Bukankah itu salah satu hal yang menyenangkan yang ditawarkan oleh
kegiatan membaca?
Saya
dibuat ikut berpikir tentang pelakunya. Selain itu cara penulis menuturkan
penyelidikan yang dilakukan Kiri membuat pembaca merasa sebagai partner Kiri
sebab ikut mengetahui fakta yang didapatakn Kiri. Tidak ada yang disembunyikan.
Ini yang membuat kesan detektif dari novel ini jadi sangat terasa.
Ah, ini benar-benar
sebuah novel yang bagus. Saya suka dengan ceritanya. Saya suka dengan penutup
kasusnya. Dan juga suka dengan ending cerita yang dipilih Ruwi Meita. Ini
membuat saya jadi tidak sabar untuk menjadi partner Kiri Lamari lagi (^_^)

“Kata
orang, karya anak kecil dan karya seniman terkenal kadang tidak bisa dibedakan.
Hanya saja, seorang seniman punya konsep, sementara anak kecil punya
kebahagiaan.” (Hal. 88)

***

“Kadang,
apa yang kamu kenakan menujukkan siapa dirimu.” (Hal. 211)

Psst..ada
pengumuman tambahan. Nantikan Blogtour Misteri Patung Garam yang akan
berlangsung di My Little Library pada 20 April mendatang. Ikuti juga Blogtour
yang sedang berlangsung di bloghost lainnya.
https://igcdn-photos-e-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xaf1/t51.2885-15/10956786_1429439034022716_484203643_n.jpg
ikuti blogtournya

“…,
marahlah, jangan tunda marahmu. Tak selamanya diam itu emas. Ada kalanya, diam
itu berarti sebuah pelarian dan kekalahan. Sebab kamu tak mau tahu atau
memperbaiki.” (Hal. 177)

***

“Apakah
benar jika penampilan tak selalu sama dengan watak sejatinya?” (Hal. 48)