Penulis: Eleanor H
Porter
Penerjemah: Rini
Nurul Badariah
Penerbit: Orange Book
Cetakan: Pertama, Mei
2010
Jumlah hal.: x + 300
halaman
ISBN:
978-602-8436-79-3
Tak pernah terpikir
oleh Miss Polly Harrington bahwa hidupnya yang selama ini teratur dan penuh
ketenangan akan ditingkahi kehadiran seorang gadis cilik. Gadis itu adalah
keponakannya sendiri, POLLYANNA, yang dirawatnya karena sudah menjadi yatim
piatu.
Pollyanna sosok yang ceria dengan cepat membuat orang-orang di
sekitarnya bahagia. Ia menularkan kepada mereka suatu permainan ‘Sukacita’ (
the
glad game), sehingga siapa saja yang
tidak menghabiskan waktu dengan mengeluh atau bermuram durja. Menurut
Pollyanna, pasti ada sesuatu yang menyenangkan dalam kondisi apa pun.
Tetapi suatu ketika, Pollyanna mengalami kecelakaan dan terancam lumpuh
seumur hidup. Masih bisakah ia bergembira dan bersukacita dengan keadaannya?
***
Buku ini adalah salah karya
klasik Amerika dari seorang penulis perempuan Amerika. Buku ini sendiri pertama
kali terbit di Amerika pada tahun 1913. Wah, berarti tahun ini karya itu sudah
menginjak usianya yang ke 100 tahun. *tepuk tangan meriah* Eleanor H Porter
sempat menikmati kejayaan tulisannya. Ia meninggal pada tahun 1920, saat
karyanya memasuki cetakan ke 47. 
Novel Pollyanna adalah novel yang
ditujukan untuk anak-anak. Judul Pollyanna ini berasal dari nama tokoh
utamanya. Pollyanna adalah seorang gadis kecil sebatang kara. Ia kehilangan
ibunya sejak kecil dan kemudian ayahnya yang bekerja sebagai pendeta meninggal
dunia. Pollyanna akhir diasuh oleh bibinya yang bernaa Bibi Polly. Bibi Polly
adalah adik dari ibunya.

Bibi Polly saat mendengar perihal
kondisi Pollyanna memutuskan untuk menjalankan tanggung jawabnya dengan baik.
Ia pun bersedia mengasuh Pollyanna demi memenuhi tanggung jawab itu mengingat
sudah tidak ada keluarga lain yang bisa dituju Pollyanna. Bibi Polly yang
merupakan seorang yang kaku dan sangat disiplin tidak menyangka akan mengasuh
seorang anak berperangai sangat ceria (saya katakan SANGAT karena memang dalam
buku ini, anak tersebut benar-benar selalu digambarkan mampu menemukan
keceriaan dalam segala hal bahkan dalam kondisi yang paling buruk sekalipun).
Pollyanna yang tumbuh dari
didikan penuh cinta kasih dari ayahnya dan dari para Ladies’ Aid berkembang menjadi
anak yang sangat mencintai hidup. Baginya hidup itu bukan sekedar bernafas.
Jika bernafas adalah hidup, maka saat tidur pun ia bernafas. Namun hidup
baginya adalah menikmati setiap hal dan melakukan sesuatu yang dia sukai dan
membuat dirinya bersuka cita. Ini jelas membuat Bibi Polly selau mengerutkan
dahi dan kesal dengan sikap Pollyanna. Anehnya, semua hukuman yang diberikan
oleh Bibi Polly tidak pernah dianggap sebagai kesengsaraan oleh Pollyanna. Dia
selalu menemukan sesuatu untuk disyukuri dari setiap hukuman yang diberi oleh
Bibi Polly.
Bahkan saat Bibi Polly
menghukumnya untuk duduk membaca di kamar selama 30 menit tentang lalat, karena
Pollyanna sudah dengan sengaja membiarkan jendela dan pintu kamarnya terbuka
sehingga beberapa lalat masuk ke dalam rumah, pun tidak membuat Pollyanna
bersedih. Ia malah berterima  kasih pada
Bibi Polly karena disuruh membaca yang baginya ia disuruh mengerjakan hal yang
dia sukai yakni membaca.
Keceriaan ini lambat laun membuat
menular ke banyak orang. Ia mengajari Nancy, gadis yang membantu di rumah Bibi
Polly, cara bermain the glad game
atau permainan “sukacita”. Nancy yang iba kepada gadis cilik ini pun
menyanggupi untuk ikut bermain. Awalnya ini ia lakukan untuk menyenangkan
Pollyanna yang berkata akan bermain permainan ini sendiri karena tidak memiliki
teman di Beldingsville. Namun ternyata permainan itu cukup membantu Nancy
menghadapi hari-harinya yang selama ini penuh keluhan. Meskipun merasa
kesulitan, Nancy pun terus berusaha ikut bermain.
Orang berikutnya yang diajari
oleh Nancy tentang permainan tersebut adalah Mrs. Snow. Perempuan ini terkenal
suka mengeluh. Ia hidup cukup miskin dan kakinya mengalami kelumpuhan. Ia
sering kali diberi sumbangan makanan oleh warga sekitar. Sayangnya ia tidak
mensyukuri hal ini. Ia sibuk mengeluh. Kabarnya, jika diberi Jelly ia akan
mengeluh karena tidak diberi ayam, dan jika diberi ayam dia akan mengeluh
karena ia ingin diberi kaldu domba. Pollyanna kemudian dengan keceriaannya
menulari perempuan tua ini. Menghidupkan semangatnya dan mengajarinya untuk
mensyukuri banyak hal dalam hidupnya bahkan mensyukuri sakit yang dialaminya.
Awalnya ini terasa berat, namun lambat laun Mrs. Snow semakin aktif mengikuti
permainan ini.
Selain itu, ada pula Jimmy Bean
dan Mr. Pendleton. Awalnya Pollyanna mengenal Mr. Pendleton yang dianggap seram
dan aneh oleh warga sekitar. Namun lagi-lagi (berkat sebuah kebetulan juga sih)
Pollyanna berhasil masuk dan mewarnai hidup Mr. Pendleton. Awalnya Mr.
Pendleton senang dikunjungi oleh Pollyanna hingga akhirnya sikapnya kembali
kasar dan dingin setelah mengetahui siapa Pollyanna dan hubungannya dengan
keluarga Harrington. Ternyata ada sebuah konflik yang sudah lama terjadi di
antara kedua keluarga tersebut.
Kehadiran Jimmy Bean juga ikut
menyibukkan hari-hari Pollyanna. Jimmy adalah anak panti asuhan yang berusaha
menemukan sebuah tempat tinggal baru. Ia bahkan bersedia bekerja, ia menolak
untuk mengemis. Mengetahui keinginan Jimmy ini, Pollyanna pun berusaha membantu
menemukan rumah untuk Jimmy. Awalnya ia meminta pada Bibi Polly yang dianggap
sangat bermurah hati namun ternyata bibinya menolak dengan keras (bahkan
terkesan kasar). Pollyanna pun merasa sedih karena tidak bisa menolong Jimmy,
namun dia tida berhenti di sana. Ia terus berusaha melakukan sesuatu untuk
Jimmy.
Di akhir buku diceritakan tentang
Pollyanna yang mengalami kecelakaan dan divonis akan mengalami lumpuh seumur
hidup untuk bagian pinggul ke bawah. Ini membuat Pollyanna sangat sedih. Ia
bahkan berkata ia tidak akan bisa melakukan permainan itu lagi. Namun ternyata
sakitnya gadis kecil ini malah membuka banyak hal yang tidak diketahui Bibi
Polly.
Satu-satunya orang yang tidak
diajak bermaian “Sukacita” oleh Pollyanna adalah Bibi Polly. Namun alangkah
herannya Bibi Polly dengan banyaknya orang yang datang ke rumah untuk menjenguk
Pollyanna dan menitipkan berbagai pesan kegembiraan untuk Pollyanna. Mereka
berkata, “Sampaikan pada Pollyanna bahwa saya ikut melakukan permaian sukacita.
Dan sekarang saya bahagia. Saya sudah bla bla bla bla bla dan bla. Saya yakin
dia akan bahagia mendengar kabar ini”
Semua pesan itu awalnya membuat
Bibi Polly heran hingga akhirnya ia menanyai Nancy. Memintanya menjelaskan
tentang permainan itu. Wah, akhir buku ini sungguh bisa ditebak dengan segera.
Namun siapa yang menduga bahwa sakit Pollyanna juga membawa kebahagian bagi
Bibi Polly. Ia akhirnya bisa berbahagia karena bisa memperbaiki hubungannya
dengan kekasih lamanya. Bahkan mereka akan segera menikah. Hm..mungkin itu juga
bisa menjadi bagian dari “sukacita” atas penyakit yang dialami oleh Pollyanna.
Karya ini sebenarnya membuat saya
sadar bahwa buku-buku klasik tempo dulu yang ditujukan untuk anak-anak benar-benar
sarat pesan moral. Namun sebenarnya dalam hal ini mungkin memiliki beberapa
kesamaan. Semua karya Klasik yang saya baca tokoh utamanya adalah anak
perempuan. Mereka digambarkan sebagai anak-anak yang ceria. Lihat saja tokoh
Anne dalam “Anne of Green Gables” atau tokoh Emily dalam “Emily of New Moon”.
Kedua tokoh ini hidupnya kurang lebih sama yakni yatim piatu dan tinggal dengan
bibi mereka. Kekuatan keceriaan anak-anak seolah ingin diangkat dalam
cerita-cerita ini.
Yang saya tangkap, jika buku ini
dibaca oleh orang dewasa, mereka berharap mereka mau memaklumi sifat
kanak-kanak. Bahkan seperti mengingatkan bahwa selalu ada jiwa kanak-kanak
dalam diri orang dewasa.  Selain itu
nilai-nilai kebaikan juga berusaha ditanamkan melalu bacaan ini. Tentang
kecintaan pada alam. Tentang keceriaan yang 
bisa membantu anak-anak menghadapi berbagai masalah.
Jujur, saya selalu berharap bahwa
buku-buku klasik ini bisa menjadi bacaan pilihan untuk anak-anak Indonesia.
Sebab banyak nilai-nilai luhur yang coba disebarkan melalui bacaan-bacaan
tersebut. Sayangnya, bahkan bagi teman-teman seumuran saya, mereka masih
menganggap bahwa buku ini “berat”. Katanya karena tebal dan gaya bahasanya
tidak menarik (-__-“)
Rasanya sayang jika buku-buku ini
tidak dikenalkan kepada anak-anak belasan tahun. Daripada mereka sibuk dengan
teenlit, lebih baik jika mereka diberi bacaan “berisi” seperti ini. Tapi
sudahlah ini hanya curhat pribadi *ala emak-emak* yang selama ini sering
mengganggu saya.
Oiya, jika harus menilai buku ini dalam skala 1-10, maka saya memberinya
nilai 9
(^_^)v Saya selalu suka dengan karya klasik seperti ini. Apalagi
buku ini berhasil membuat saya menangis bahagia di bagian akhir cerita.