Aku tertunduk malu
Menatap hijau gunung di hadapanku dan mendengar debur ombak di belakangku
Tikaman rasa bersalah ini datang tanpa permis
Tiada kata “halo” mengawalinya
Dan tidak punya kesempatan mendengar kata “dimaafkan!”
Sebab, ia yang tengah kumintai maafnya adalah
wajah-wajah penuh amarah yang hadir 80 tahun lagi.
Wajah-wajah yang tak kenal senyum lebar saat melihat dua ekor kera berhidung
merah saling mencandai.
Wajah yang tak akan ketakutan melihat Harimau Sumatera sebab hanya lorengnya ia
kenali dalam bentuk permadani atau mantel bulu
Mereka, generasi yang patah hati
Yang hutannya tengah kita gunduli
Yang lautnya tengah kita buat sunyi
Yang buminya tengah kita racuni
Sekarang, harus kukemanakan permintaan maaf ini?
Pada kaki siapa aku harus bersimpuh?
Dengan cara apa aku menebus lalaiku?
Cukupkah dengan tidak berkendara pribadi seperti hari ini?
Cukupkah dengan mematikan televisi yang sudah terlalu bingar dengan dalih
mengurangi penggunaan listrik?
Cicitku mungkin akan berkata,
“Tidak cukup! Sebab nenek menutup mata saat orang-orang mencuri dari kami.
Nenek berdiam diri. Tidak mengubah apapun! “


Mungkin ketika ia menghakimiku serupa itu aku hanya bisa berkata,”maaf
untuk keberanian yang tak kunjung terbit. Maaf untuk kepapaan untuk mengubah
pilihan-piliham hidup orang-orang di sekitar nenek. Tapi bisakah maafmu datang
bersama setiap usaha kecil nenek untuk menjaga yang mampu nenek jaga?”

Dan kelak aku hanya bisa memaklumi ketika ia
berkata, “Tidak! Tidak akan ada maaf untuk nenek dan generasi nenek. Tiada
maaf untuk generasi sebelum kami!”
Sebab saat itu, ia tak lagi dapat menatap hutan sebanyak yang ku lihat hari
ini. Saat itu ia telah kehilangan seluruh jenis kupu-kupu yang kukagumi hari
ini. Ia kehilangan mentari yang cerah dan biru langit yang indah.


Kelak kemarahannya akan kumaklumi bersama tikaman
rasa bersalah yang datang bertubi saat ia berkata, “Nenek, kembalikan
hijau bumi dan lestari aneka ragam flora dan fauna itu. Kembalikan?!”
 
Dan saat itu ketika ia mengiba dengan penuh air mata amarah, aku hanya berharap
bisa kembali ke masa lalu dan melalukan sesuatu.
Mengajak lebih banyak orang bersamaku untuk berkata “tidak!” atas semua
ketidakpedulian itu.
Bandung, 3 Desember 2014
Teruntuk
generasi masa kini. Bumi macam apa yang akan kita wariskan kelak??
Puisi
terinspirasi oleh buku Dunia Anna karya Jostein Gaarder