“It’s
funny that most of the time the person you love the most, is also the person
you hate the most. The person you wanna kiss, is also the person you wanna
kill. The person you cannot live without, is also the person you wanna let go.”
(Hal. 179)

Penulis: Nurilla Iryani
Editor: Herlina P. Dewi
Desain Cover: Teguh Santosa
Layout: DeeJee
Proof Reader: Tikah Kumala
Penerbit: Stiletto Book
Catakan: I, Desember 2013
Jumlah hal.: 206 halaman
ISBN: 978-602-7572-22-5
Kehidupan
pernikahan itu bagaikan rollercoaster. Yes? No?

Jungkir balik! Kadang di atas, kadang di bawah. Ada yang menikmati dan tertawa
bahagia, ada juga yang tersiksa dan menangis tersedu. Setelah mencobanya,
setiap orang punya pilihan masing-masing: ingin terus mencoba atau justru kapok
luar biasa.

Bagaimana dengan Audi dan Rafa? Kehidupan urban yang dijalani pasangan ini
memberi tantangan lebih pada pernikahan mereka. Bagaimana mencari waktu untuk
bersama di tengah kesibukan mereka. Bagaimana mengatur mood setelah semua
energi positif hilang di kantor. Bagaimana menahan godaan dari orang yang
pernah hadir di masa lalu.


Akankah mereka terus mencoba dan bertahan?
 Atau justru kapok dan menyerah?
***

“….
Marriage is like roller coaster. Ada ups and downs. …” (Hal. 175)

Bagaimana rasanya
menikahi laki-laki yang dicintai? Bahagia? Apakah kehidupan pernikahan itu
seindah masa pacaran? Banyak kisah nyata terkait cerita semacam ini, namun
menarik juga membaca karya fiksi yang saya rasa pun bisa jadi memang ada di
dunia nyata.
Pernikahan Audi
dan Rafa memang masih sangat muda. Baru setahun lebih. Namun ternyata kisah
cinta yang dialami di masa pernikahan tidak seindah yang diharapkan Audi. Rafa
adalah seorang workaholic. Awalnya
hal itu tidak menjadi masalah bagi Audi sebab ia sendiri juga bekerja sebagai marketing researcher. Meskipun tetap
saja ia masih tidak bisa memahami mengapa suaminya selalu pulang malam.

Ketidaknyamanan
itu masih bisa ditahan oleh Audi hingga suatu hari muncullah Yoga. Mantan
kekasihnya sebelum Rafa. Yoga yang tidak mengetahui bahwa Audi telah menikah
kembali mendekat. Ia bahkan menjadi klien Audi. Dan Audi dengan lihainya
memanfaatkan perasaan Yoga untuk bisa mendapatkan kerja sama dengan perusahaan
besar tempat Yoga bekerja. Namun akhirnya Audi pun mengakui pada Yoga bahwa ia
telah berkeluarga. 
Di waktu yang
sama hubungan Audi dan Rafa menegang. Rafa yang ingin menunda rencana untuk
memiliki momongan marah saat menyadari bahwa Audi “kecolongan”. Setelah itu
rentetan pertengkaran terjadi satu demi satu. Audi berkali-kali mengalah dengan
berhenti bekerja saat ia bahkan baru saja akan dipromosikan menjadi manajer. Adaptasi
Audi dari seorang worker menjadi
seorang full time housewife terasa
sangat berat karena Rafa tidak hadir untuk mendukungnya. Rafa terus saja sibuk
dengan pekerjaannya. Hingga di satu titik Audi pun meledak dan berfikir untuk
menyerah mempertahankan hubungannya dengan Rafa. Apakah Audi berhasil melewati
masa kritis di awal-awal pernikahannya ini?

“No. Bisa
jadi memang benar kamu orang yang tepat buat aku. Tapi sayangnya, aku bukan
orang yang tepat bagi kamu.” ( Hal. 124)

***

“Forgiving
is easy, forgetting is not. I can’t stand the pain anymore,” (Hal. 184)

Menggunakan
sudut pandang orang pertama penulis berhasil menampilkan berbagai emosi tokoh
Audi yang tengah beradaptasi dengan kehidupan berumah tangga. Novel ini juga
sangat terasa sebagai novel yang diperuntukkan bagi perempuan sebab menggunakan
logika perempuan. Lihat saja kesah Audi tentang sikap Rafa ini,
“Rafa
selalu saja mencari solusi dari semua masalah yang aku utarakan. Padahal,
kadang yang aku butuhkan bukan solusi. Yang aku butuhkan hanya dia duduk di
sampingku, mendengarkanku dengan sabar lalu bilang kalau semua akan baik-baik
saja. Sesimpel itu.” (hal. 29)
Bagi saya
sebagai pembaca perempuan langsung berkata, “Ya! Ya! Bener banget. Kadang pengin dimengerti sesimple itu aja kok.”
Tapi kadang saya juga jadi ingin menjitak Audi saat ia berpikir dan bersikap
sangat kekanak-kanakan. Terutama dalam kasus hubungannya dengan Yoga, mantan
kekasihnya.
Novel ini memang
benar-benar sesuai dibaca untuk perempuan. Terutama mereka yang masih muda dan
baru meniti rumah tangga. Banyak gosip yang sering saya baca dengar bahwa 2
tahun awal pernikahan termasuk masa-masa kritis sebab itu adalah moment
adaptasi. Kebiasaan-kebiasaan yang harus dijembatani oleh pengertian dan
sebagainya. Pertengkaran pun bisa jadi bumbu yang mewarnai, entah menjadi indah
atau suram tergantung pasangan tersebut menyikapinya. Hm..tapi sekali lagi itu
bagi saya baru gosip sebab saya sendiri belum menikah. He..he.. (^_^)v
*kemudian ditimpuk buku oleh pembaca*
Hm..banyak
kalimat yang menarik yang saya temukan di dalam buku ini. Namun kadang saya
tidak bisa membayangkan mengatakan kalimat seperti itu di dunia nyata. Kalau
menuliskannya dalam surat cinta sih saya masih sanggup. Tapi saat
menyampaikannya secara lugas rasanya agak aneh dan geli gimana gitu 😀 
Contohnya
kalimat ini. Dalam sih, tapi entahlah jika diucapkan secara langsung.
“I
love you, Raf. I love you so much. I don’t even know why I’m still in love with
you. But, I don’t wanna live with someone who makes me feel like I’m the most
insignificant person in the world. Aku pengin ngerasa dicintai, aku pengin
ngerasa dibutuhkan. I need it. I’m desperate for it.” (Hal. 183)
Konflik di dalam
buku ini sudah menarik. Klimaks sudah diberi pengantar yang baik. Tapi rasanya
ada feel yang kurang penjelasan
tentang sikap Rafa kurang tereksplore. Ini bisa jadi karena penulis menggunakan
sudut pandang orang pertama sehingga cerita dari sisi Rafa tidak bisa
terjabarkan dengan baik. 
Oiya, satu hal
yang perlu diketahui bagi yang ingin membaca buku ini. Banyak sekali kalimat
dalam bahasa Inggris. Sehingga bagi yang tidak begitu menguasai bahasa tersebut
akan merasa terganggu sebab banyak kalimat penting yang malah ditampilkan dalam
bahasa tersebut.
“Sometimes
the one who makes you cry is also the one who can make you smile all over
again.” (Hal. 200)
Tapi selama
kendala bahasa ini bisa disiasati atau tidak jadi masalah, buku ini bisa jadi
pilihan menarik. Saya yakin di luar sana ada kisah yang cukup mirip dengan yang
diangkat oleh Nurilla Iryani ini.
 “…. Klise! Cari duit buat keluarga tapi
justru gak ada waktu buat keluarga. Pointless!” (hal 182)