“Sejarah
adalah sebuah kuali besar yang sarat dengan cita-cita yang diwujudkan oleh
orang-orang yang menjadi besar karena memiliki keberanian untuk mengubah
impian-impian mereka menjadi kenyataan, dan filsafat adalah keheningan tempat
bersembunyinya impian-impian tadi.” (Hal. 21)


Judul asli: Bianca Come
Il Latte, Rossa Come Il Sangue
Penulis:
AlessandroD’Avenia
Pengalih bahasa: Tanti
Susilawati
Penyunting: Novalya
Putri
Penata Letak: Meita
Safitri
Desain cover: Helen Lie
Penerbit: Bhuana Sastra
(Imprint dari PT BIP)
Cetakan: Pertama, 2015
Jumlah hal.: 363
halaman
ISBN: 978-602-249-817-9
“…mencintai
adalah kata kerja, bukan kata benda. Bukan sesuatu yang diciptakan sekali untuk
selamanya, tetapi berevolusi, tumbuh, naik, turun, tenggela, bagai sungai yang
tersembunyi di jantung bumi…”
Seperti
kebanyakan remaja lelaki 16 tahun, Leo benci sekolah dan baginya guru adalah
sekumpulan vampir yang selalu mencari mangsa. Ia lebih suka nongkrong bersama
teman-temannya, mendengar musik di iPod-nya, main sepak bola, dan kebut-kebutan
dengan sepeda motor kesayangannya. Namun, seorang guru filsafat pengganti di
sekolahnya berhasil membangunkan semangatnya untuk hidup dengan mimpi.
Mimpi
Leo adalah Beatrice, gadis berambut merah yang tercantik di sekolahnya. Warna
merah adalah semangat hidup Leo. Tapi, cintanya yang menggebu itu hanya sebatas
melihat pujaan hatinya dari jauh. Mimpi Leo mendadak hancur saat Leo tahu bahwa
Beatrice mengidap leukimia. Warna merah itu pun pudar, berganti degan putih,
warna yang paling dibencinya.
Saat
Leo semakin terpuruk dalam kehampaan, Silvia, sahabat sejatinya, selalu
mendampinginya untuk mewujudkan mimpinya. Meskipun hatinya remuk dan berdarah,
Leo terusmenggali ke dalam dirinya, dan sadar bahwa mimpi tidak bisa mati.
Buku
ini telah terjual lebih dari 700.000 eksemplar di negara aslinya, Italia, dan
telah difilmkan dengan judul aslinya Bianca Come Il Latte, Rossa come Il
Sangue.
***

“Setiap
hal memiliki warna. Setiap perasaan memiliki warna.” (Hal. 1)

Novel
ini adalah sebuah karya terjemahan dari novel Italia. Novel dengan pembahasan
yang menarik. Menggabungkan cerita kehidupan remaja dengan problematikanya dengan
filsafat. Mengingatkan saya dengan salah satu penulis kesayangan saya, Jostein
Gaarder. Namun novel ini berbeda, karena cara bertuturnya.
Penulis
mengambil sudut pandang orang pertama dari seorang pemuda yang memandang hidup
dengan sinis. Pemuda yang mmbenci warna putih, mencintai Beatrice diam-diam,
menyebut guru pengganti untuk pelajaran sejarah dan filsafatnya dengan nama “Si
Pemimpi”, dan menyukai warna merah.
Semula
hidupnya sebagai pengagum diam-diam Beatrice berjalan biasa saja. Gejolak mudanya
naik turun, kadang dia menikmati hidupnya, dan kadang ia merasa diperangkap
kebosanan. Hingga suatu hari Si Pemimpi berhasil membuatnya memutuskan sebuah
impian. Ya, impian yang melibatkan Beatrice di dalamnya. Impian yang membuat
gairah hidupnya menggelora berkali lipat. Namun mendadak mimpi itu terbentur
oleh kenyataan. Beatrice sakit. Terlalu sakit. Sel darah putihnya menghancurkan
sel darah merah yang ada ditubuhnya. Leukimia.
Dan
kini impian Leo terancam. Di tengah kemelut itu, ia selalu mensyukuri kehadiran
Sylvia. Sylvia adalah satu-satunya warna putih yang bisa memberinya kenyamanan.
Sylvia yang memberikan nomor handphone Beatrice, Sylvia yang mengabarinya
kondisi Beatrice, Sylvia yang mendukungnya untuk selalu mendampingi Beatrice.
Tapi
bagaimana jika banyak hal tidak berjalan seperti yang diduga dan diimpikannya?
Apa lagi yang dimilikinya setelah itu?

“Pertama-tama
mereka bilang kau harus unik, kau harus berani mengungkapkan persaanmu, kau
harus jadi dirimu sendiri! Lalu, satu kau mencoba menunjukkan jati dirimu, kata
mereka, kau tak punya kepribadian, kelakuan sama saja seperti yang lainnya.”
(Hal. 6)



***

“Hari
itu, kakekku menjelaskan bahwa kita berbeda dari binatang, yang hanya melakukan
hal-hal yang disuruh alam saja. Sebaliknya, kita bebas. Inilah karunia terbesar
yang sudah kita terima. Berkat kebebasan ini, kita bisa menjadi seseorang yang
berbeda dari diri kita sekarang. Kebebasan memampukan kita untuk bermimpi, dan
mimpi adalah denyut kehidupan kita, meskipun sering kali membutuhkan perjalanan
panjang dan beberapa pukulan. ‘Jangan pernah berhenti bermimpi! Jangan takut
untuk bermimpi, meskipun orang lain tertawa di belakangmu!’ begitulah nasihat
kakekku, ‘sebab jika tidak begitu, berarti kamu melawan kodratmu.’…” (Hal.
20)

Novel
ini adalah novel yang bisa jadi alternatif bacaan bagi remaja Indonesia. Tokoh
Leo boleh saja jadi cowok super galau sampai mencaci dunia, bersikap skeptis
pada mimpi dan impian. Tapi ia sering berkontemplasi. Mempertanyakan banyak
hal. Memikirkan banyak hal. Ya, ia berfilsafat.
Di
sisi lain, membaca buku ini, pembaca Indonesia jadi punya sedikit bayangan
tentang kehidupan remaja dan sistem pendidikan di Italia. Bagaimana pelajaran
filsafat dan sejarah disandingkan dan ajarkan di sekolah menengah atas. Inilah
yang menggugah Leo untuk berpikir lebih jauh, merenung lebih banyak. Pun banyak
kalimat filosofis di dalam buku ini. Ini menjadi salah satu kelebihan buku ini.
Awalnya
buku ini akan terasa sedikit membosankan mengingat dengan menggunakan sudut
pandang orang pertama, penulis banyak mengetengahkan monolog tokoh utamanya. Bagaimana
ia mempertanyakan banyak hal. Bagaimana pendapatnya tentang berbagai hal. Namun
saat cerita telah melibatkan Sylvia, cerita semakin berwarna. Terutama saat Leo
menyadari bahwa Beatrice sakit. Cerita jadi semakin menarik untuk diikuti.
Buku
ini adalah bacaan yang bagus bagi remaja. Menyampaikan banyak hal tentang
remaja sekaligus menggugah remaja dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis