Catatan kehidupan kali ini bicara tentang hati perempuan.
Nongkrong nungguin pengurusan berkas di taman kampus berakhir dengan berkontemplasi tentang hati perempuan

Berniat online, sayangnya WiFi kampus yang menargetkan diri dalam taraf Internasional ini nggak layak pakai..ck..ck..
jaringan WiFi sih banyak..tapi gagal connect melulu (curhatan pejuang WiFI)
Ya sudah, akhirnya aku hanya duduk sambil mengetik obrolan dalam hati ini..
ditemani sepotong roti dan sekotak susu coklat ukuran 200ml, aku mencoba menikmati hari ini..
lantunan lagu “Pergi Saja” milik Geisha membuai telinga dan memelankoliskan hatiku..
Anggap saja lagu ini mewakili sekelebat pikiranku atas relationship dengan sudut pandang hati perempuan.
Karena kadang isi kepalaku menyuruhku untu mengakhiri sebuah kisah, meletakkan tulisan “the end” dalam our story..

tapi hatiku memaksaku untuk terus memikirkannya.
Hal yang aneh.
karena hatilah yang tersakiti ketika dia melakukan sesuatu yang menyakitkan, bukan logika..
lantas kenapa hati masih terus mengharapkannya bertahan? dan logikalah yang menyuruhnya pergi?
Jadi teringat pembicaraan dengan seorang teman..

“Kita mungkin memikirkannya dengan logika, tapi hatilah yang mempengaruhi tindakan kita. Dan dalam hubungan seperti ini, hatilah yang memegang kendali..
Pada akhirnya yang bisa kulakukan saat ini hanyalah menyeimbangkan keduanya.
aku tidak bisa memilih untuk pergi begitu saja.
namun aku juga tidak lagi mau disakiti.
jadi yang bisa kulakukan hanyalah mengambil langkah mundur dan kemudian berdiam diri di tempat..
menunggu langkah dari dia.
akankah dia mudur atau akan berusaha melangkah ke arahku dan meraihku kembali.
hubungan ini biar ditentukan olehnya.
jika ia  mundur maka jarak kami akan kian jauh dan seiring waktu mungkin jarak ini juga akan menjadi dalam hingga akhirnya menjadi jurang pemisah bagi kami.
dan jika ia melangkah maju, a
ku hanya mengharapkan komitmen kian dikukuhkan.
Ini bisa disebut gravitasi hati perempuan. Masyarakat kita masih menempatkan perempuan sebagai pihak yang pasif, menunggu tindakan dari laki-laki. Masih terkesan kurang layak jika perempuan yang mengambil inisiatif duluan. Sehingga dalam aspek hubungan seperti ini, perempuan cenderung memilih untuk mengimbangi keputusan pasangan. Dan ditambah lagi dengan tetap hadirnya romantisme dalam berbagai film ataupun drama adegan bagaimana perempuan melangkah pergi. Saat perempuan memutuskan berbalik dan menjauh, rasanya sangat romantis ya jika pilihan ini dihentikan oleh laki-laki dengan menggenggam tangan atau lengannya atau bahkan menahannya dengan pelukan.
Ah, romantisme yang indah. Tapi di satu sisi ini jelas pilihan berisiko. Saat memutuskan untuk berbalik dan pergi ini adalah saat gravitasi hati perempuan bekerja. Jika ia ditahan, ia akan memilih bertahan. Namun jika ia dilepaskan, maka dia harus menahan gengsi dan sakit hati untuk tidak berbalik ke belakang. Sangat gambling ya. Tapi itulah yang terjadi. Seringkali perempuan menyerahkan keputusan pada laki-laki tanpa berusaha memperjuangkannya hingga akhir

(he..he..dasar wanita..bergerak dipengaruhi oleh gravitasi perasaan dibandingkan logika..maaf untuk para wanita..diriku pun wanita..tapi itu bukanlah kelemahan wanita namun merupakan sebuah kekuatan yang berbeda yang tidak akan mampu dipahami oleh pria)